HEADLINE

Zonasi Sekolah dan Etika Kebijakan : Anak Dekat, Tapi Harapan Jauh

×

Zonasi Sekolah dan Etika Kebijakan : Anak Dekat, Tapi Harapan Jauh

Sebarkan artikel ini

Bangka,Cmnnews.id  — Reformasi pendidikan nasional mendorong lahirnya kebijakan zonasi sekolah sebagai pemerataan akses pendidikan. Kebijakan ini dihadirkan dengan harapan dapat menghapus stigma sekolah favorit yang selama ini terjadi, dapat membantu mendekatkan siswa terhadap domisili sekolah dan pemerataan dalam pendistribusian siswa.

Namun penerapan di lapangan tidaklah berjalan mulus seperti yang diharapkan karna ada berbagai tantangan langsung yang dihadapi dan dirasakan oleh guru, siswa dan orang tua. Sebagai guru  saat ini  melihat kebijakan ini dari dua sisi, sebagai pelaksana di lapangan dan sebagai pembelajar yang diajak berpikir kritis bagaimana sistem zonasi ini dijalankan di sekolah.

Dalam sistem zonasi ini membuka wawasan  berfikir yang lebih kritis tentang bagaimana seharusnya kebijakan publik dapat dijalankan  sesuai dengan rancangan. Melihat bahwa suatu kebijakan bukanlah sekedar instrumen teknis yang dirancang untuk mengatur,  melainkan didalamnya terdapat nilai- nilai sosial, etika dan nilai keadilan yang seharusnya dapat dijalankan dengan tepat.

Dalam hal ini kita diajak untuk memahami bahwa efisiensi dan efektivitas hanyalah sebagian dari pertimbangan dalam merancang kebijakan. Lebih dari itu, kebijakan harus diuji secara etis, apakah ia memanusiakan individu? Apakah ia memberi ruang partisipasi bagi semua pihak yang terdampak? Apakah ia mampu menjawab kebutuhan nyata di lapangan? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi bekal penting ketika guru kembali ke ruang kelas, menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), mengelola dinamika siswa, dan berdialog dengan orang tua murid. Pada praktiknya zonasi sekolah seringkali menimbulkan dilema.

Disatu sisi, ia bertujuan untuk pemerataan. Namun di sisi lain, zonasi juga menciptakan ketimpangan baru jika tidak disertai dengan pemerataan kualitas sekolah. Pengalaman di sekolah, sebagai guru melihat sendiri bagaimana  siswa yang sebenarnya memiliki potensi besar dan unik harus memendam keinginan untuk bersekolah ditempat yang mereka impikan sesuai dengan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki.

Dan hal yang demikian mesti terkubur hanya karena batas wilayah yang tidak mendukung sesuai dengan aturan zonasi yang mengakibatkan anak- anak kehilangan kesempatan untuk belajar lebih optimal karna tidak semua sekolah dalam zona terdekat yang memiliki fasilitas, tenaga pendidik dan program yang setara.

Kebijakan zonasi mengajak kita tidak melihat kebijakan dari sisi teknis saja tetapi juga dari sisi kemanusiaan. Banyak hal yang dipertimbangkan bukan hanya sekedar peta dan jarak namun keadilan akses, kualitas layanan dan keberpihakan terhadap oeserta didik. Kebijakan yang baik harus mampu menyesuaikan dengan kontek lokal di lapangan, mendengar suara masyarakat dan memberi ruang bagi inovasi. Karna tidak semua daerah memiliki kondisi geografis, sosial dan infrastruktur yang sama.

Sebagai guru yang mempunyai pengalaman langsung di lapangan mengetahui dengan pasti apa yang terjadi di kelas dan apa yang dibutuhkan oleh peserta didik. Hal ini membuka kesadaran bahwa guru sebagai subjek intelektual mempunyai hak dan tanggung jawab untuk bersuara  bukan hanya menjadi pelaksana kebijakan dan sekedar objek birokrasi semata. Karna kita tidak bisa terus menerus berdiam diri saat kebijakan yang diterapkan tidaklah sesuai dengan realitas di lapangan.

Sudah saatnya guru bersuara dan menyampaikan arah pendidikan yang diharapkan.  Suara guru merupakan bagian dari suara publik yang bisa membuat perubahan yang lebih baik dan optimal.
Pendidikan bukanlah hanya sekedar angka dan kurikulum, namun berbicara pendidikan berarti kita berbicara tentang masa depan.

Kita dapat membangun sistem pendidikan yang berpijak pada keadilan, inklusivitas dan keberpihakan secara bersama. Kita harus memastikan bahwa setiap anak dimana pun mereka berada memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu.

Selain itu memastikan bahwa setiap guru juga memiliki ruang yang cukup untuk berkembang, berinovasi dan berkontribusi secara bermakna. Karna pada akhirnya pendidikan yang baik bukan hanya soal sistem tetapi juga tentang hati dan keberanian untuk memperjuangkan yang benar. Dan saya percaya bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil yang bermakna.

Oleh : VERONICA, S.E : Mahasiswa Pasca Sarjana Institut Pahlawan 12

Tinggalkan Balasan