BANGKA BARAT — Isu sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024 mendatang yang berhembus kencang membuat bakal calon legislatif ragu – ragu, galau, bahkan enggan mencalonkan diri untuk berkompetisi pada perhelatan pesta demokrasi tanggal 14 Februari tahun depan.
Hal itu dikatakan Ketua Bawaslu Bangka Barat Rio Febri Fahlevi saat membuka
Rapat Koordinasi Penyelesaian Sengketa Proses Pencalonan Anggota DPRD Bangka Barat, di Ruang Rapat Koperasi Warga Peltim ( KWP ) di Muntok, Kamis ( 4/5/2023 ).
Alasan bacaleg malas mencalonkan diri disebabkan kekhawatiran, bila Mahkamah Konstitusi ( MK ) memutuskan sistem Pemilu proporsional tertutup, maka yang akan duduk manis di kursi legislatif adalah caleg nomor urut 1.
“Ada satu isu bahwa ada yang tidak mau mencalonkan diri karena proses di MK ( Mahkamah Konstitusi) sampai sekarang belum ketok palu apakah proporsional tertutup atau terbuka. Malas nyaleg karena nanti caleg nomor satu yang bakal duduk,” ujar Rio.
Bahkan menurut Rio, dirinya sempat ditelepon salah satu incumbent atau petahana yang menanyakan terkait proporsional tertutup atau terbuka.
“Kalau saya bilang Perpu terkait kepemiluan tentang Undang – Undang 7 Tahun 2017 ini sudah ketok palu. Di awal tahun kemaren ketok palunya, terkait dengan daerah otonomi baru ( DOB ), penambahan jumlah kursi DPR RI, syarat penyelenggara Pemilu, jadi sudah clear,” kata Rio.
“Saya pikir pemerintah tidak akan menerbitkan ulang Perpu baru. Putusan MK nantinya harus lah berujung merubah UU 7, pasti. Kalau saya menyatakan seperti itu,” imbuhnya.
Rio meyakini putusan MK tetap menyatakan pesta demokrasi 2024 mendatang dilaksanakan dengan sistem Pemilu proporsional terbuka. Sebab, bila proporsional tertutup, berarti ada kemunduran dalam proses demokrasi.
Karena itu peraturan perundangannya dirubah, dari Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2011 sampai ke Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
“Karena di UU 15 Tahun 2011 saja perubahan itu sudah menyatakan sudah proposional terbuka,” lanjut Rio.
Dikatakan Rio, sebagian pengamat Pemilu menilai, pesta demokrasi paling sukses adalah Pemilu 1999, di mana kala itu terdapat 48 partai politik yang ikut serta.
Pada 2004, sistem Pemilu masih
proporsional tertutup dan pada 2009 menurut dia sudah proporsional terbuka.
“Kalau bicara demokrasi kita tidak bicara suksesnya, kita bicara kualitas demokrasinya. Kalau sukses yang namanya di dunia ini tidak ada. Karena kesuksesan bagi orang yang menjalankan bagi orang lain belum tentu, bagi yang tidak suka dengan prosesnya belum tentu,” cetusnya.
“Ada fit and proper yang dilaksanakan oleh masyarakat oleh warga negara Indonesia dengan metodenya sendiri,” ucapnya. ( SK )